Pengangguran Lulusan SMK Versus Program Link and Match
Pengangguran selalu menjadi pemasalahan sosial di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Desember 2020, Menteri Ketenagakerjaan RI Ida Fauziyah melaporkan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 9,77 juta orang. Ditinjau dari aspek tingkat pendidikan, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) memberikan persentase tertinggi terhadap angka pengangguran terbuka (sebesar 13,55%). Urutan berikutnya secara berturut-turut, tercatat lulusan SMA sebesar 9,86 %, lulusan diploma 8,08%, lulusan perguruan tinggi 7,35%, lulusan SMP 6,46%, dan lulusan SD 3,61%. Salah satu alasannya, karena lulusan SMK tidak memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menekan angka pengangguran. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi (Ditjen DIKSI) pada tahun 2021 turut mengambil peran, kembali menggenjot program link and match antara SMK/Perguruan Tinggi Vokasi (PTV) dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI). Ini dimaksudkan agar lulusan pendidikan vokasi dapat terserap maksimal ke DUDI, sehingga penangguran dari lulusan SMK/PTV bisa terus diminimalisir.
Sebelum melirik program yang sedang dan akan dijalankan tahun 2021, coba kilas balik program link and match beberapa tahun ke belakang. Eka Prihatin Disas (2018) dan Endang S Soesilowati (2009) mengungkapkan link and match sudah mulai dicanangkan pada tahun 1989. Program ini merupakan salah satu kebijakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, yang menekankan pada penggalian potensi dan pembekalan kompetensi lulusan pendidikan vokasi sesuai kebutuhan pasar kerja, dengan kata lain paradigma supply minded bergeser menjadi demand minded. Harapannya, jika program ini berjalan dengan baik maka dapat menekan jumlah pengangguran dari lulusan SMK/PTV. Yoan Oktaviani dalam artikel yang diterbitkan Kompas 30 Juli 2020 menuliskan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1990 khususnya pada Pasal 29 Ayat 2 memuat dasar perancangan konsep link and match. Selanjutnya pada tahun 1993, Mendikbud Wardiman Djojonegoro dan Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief berkomitmen mempersiapkan tenaga kerja mandiri. Kemudian pada tahun 1994, kedua Menteri ini melakukan perjanjian kerjasama untuk program pemagangan dan sistem ganda. Pada tahun 2003, Kementerian Riset dan Teknologi merancang pengembangan link and macth antara SMK dan UKM. Pada tahun 2004, model pembelajaran pelatihan berbasis produksi diharapkan dapat diaplikasikan di SMK. Periode tahun 2005-2012, Direktur pembinaan SMK Joko Sutrisno memperkuat tata kelola SMK melalui penerapan sistem manajemen mutu (ISO 9001:2008). Namun disayangkan, program ini belum kontinyu setiap tahunnya. Sehingga ini tidak bisa dijadikan patokan menelusuri ketercapaian implementasi link and match.
Batam dan Banten merupakan daerah contoh implementasi link and match. Dua daerah ini terjadi fenomena yang bertolak belakang, memiliki industri yang banyak tetapi di sisi lain tingkat penangguran terdidik tinggi. Hasil riset Endang S Soesilowati (2009) menemukan bahwa link and match pada dua daerah ini belum berjalan baik sesuai harapan. Beberapa masalah yang dihadapi diantaranya sarana prasarana belajar belum memadai, perkembangan industri yang bergerak cepat tidak dibarengi penyesuaian pembelajaran di sekolah/kampus, kurikulum antara DUDI dan SMK/kampus belum selaras, kurangnya kepercayaan industri terhadap SMK/kampus begitupula sebaliknya, serta masih terjadi mismatch antara pendidikan dan kebutuhan industri.
Realitas demikian, pemerintah sebagai aktor utama tentunya harus lebih mematangkan kebijakan link and match. Pada tahun 2016, keluar Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK dalam rangka peningkatan kualitas dan daya saing SDM Indonesia. Setelah itu, lima Menteri (Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Mendikbud Muhadjir Effendy, Menteri Riset-Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir, Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri, dan Menteri BUMN Rini M Soemarno) berkomitmen dan sepakat menandatangani MoU tentang Pengembangan Pendidikan Vokasi berbasis Kompetensi yang link and match dengan DUDI.
Selanjutnya pada tahun 2020, Kemdikbud melalui Ditjen DIKSI mengembangkan sekitar 491 SMK menjadi Center of Excellent (CoE) atau Pusat Keunggulan untuk mempercepat peningkatan kapasitas guru dan pembelajaran siswa SMK. Selain pemenuhan sarana prasarana SMK, program ini menekankan sinkronisasi pembelajaran antara SMK dan DUDI. Itu dapat dilihat dengan muatan pembelajaran mulai dari penyelarasan kurikulum bersama DUDI, yang diikuti dengan penyesuaian model pembelajaran (dual based program, berbasis projek dan kewirausahaan, sistem blok, beserta sistem penilaiannya), pengembangan bahan ajar bersama, pelaksanaan praktek kerja lapang (PKL) di DUDI, sertifikasi kompetensi siswa oleh DUDI, pemagangan guru dan sertifikasinya, penerapan budaya kerja industri di SMK, hingga komitmen DUDI untuk merekrut lulusan SMK. Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan CoE tahun 2020 ini, pastinya tidak hanya diukur pada selesainya pelaksanaan program dan keterserapan anggaran. Tetapi hal penting adalah bagaimana peningkatan kompetensi lulusan SMK yang kemudian dapat diserap oleh DUDI. Apakah lulusan SMK semakin banyak diterima berkerja di industri, atau stagnan, ataukah malah sebaliknya. Pertanyaan ini tentunya belum dapat dijawab, karena untuk melihat keberhasilan program ini perlu diamati dalam beberapa tahun ke depan, dengan cara membandingkan data awal (to) sebelum program berjalan dan data beberapa tahun setelah program selesai dilaksanakan. Penentuan indikator keberhasilannya pun harus dapat diukur secara jelas.
Link and match pada tahun 2021 menjadi salah satu program prioritas Kemdikbud. Dalam berbagai kesempatan, Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Vokasi Wikan Sakarinto mengatakan kebijakan pengembangan pendidikan vokasi terkait link and match dinamakan paket link and match 8+i. Paket ini memuat 9 poin utama yaitu penyelarasan kurikulum antara SMK/Politeknik dengan DUDI, pembelajaran berbasis projek riil dari DUDI, jumlah dan peran guru/dosen dari DUDI ditingkatkan secara signifikan, magang/praktek kerja industri minimal 1 semester, sertifikasi kompetensi sesuai standard dan kebutuhan DUDI, guru/dosen secara rutin mendapat update teknologi dan pelatihan dari DUDI, riset terapan yang bermula dari kasus atau kebutuhan nyata di DUDI dan masyarakat, komitmen DUDI untuk merektrut lulusan SMK/PTV, serta beasiswa atau ikatan dinas dari DUDI untuk siswa/mahasiswa. Rentetan program link and match ini, pada tanggal 20 April 2021, keluarlah Keputusan Dirjen DIKSI Nomor 22/D/O/2021 tentang Penetapan SMK Pelaksana Program SMK Pusat Keunggulan Tahun 2021 Tahap I yang menyatakan sebanyak 611 SMK ditetapkan sebagai SMK Pusat Keunggulan. Pada tahap II ditambah 290 SMK PK, sehingga total SMK yang ditetapkan sebagai SMK PK tahun 2021 sebanyak 901.
Jika dilihat jabaran program link and match, ini sangatlah bagus untuk menciptakan iklim pendidikan yang bermuara pada kebutuhan DUDI. Sehingga nantinya lulusan SMK/PTV dapat diserap oleh DUDI ataupun bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, karena mereka telah dibekali kompetensi yang mumpuni ketika mengenyam pendidikan di SMK/PTV. Yang pada akhirnya angka pengangguran dari SMK/PTV dapat ditekan.
Namun demikian, pemerintah sebagai pemegang kebijakan harusnya bercermin dari kegagalan program link and match daerah Batam dan Banten. Kebijakan yang dibuat haruslah didasari dari hasil evaluasi dan analisis hal-hal yang menjadi kendala pada implementasi link and match sebelumnya. Kebijakan itu diterjemahkan dalam langkah-langkah kongkrit, dan disesuaikan karakteristik masing-masing SMK/PTV dengan DUDI yang ada. Kebijakan link and match sebaiknya dipayungi dengan produk hukum baik Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, maupun SOP yang mengatur secara utuh link and match antara SMK/PTV dengan DUDI. Produk hukum tersebut perlu memperjelas hak dan kewajiban beserta sanksi jika link and match ini tidak dijalankan kedua belah pihak. Yang menjadi perhatian juga, jurusan yang dibuka di SMK/PTV harusnya sesuai dengan kebutuhan industri minimal DUDI yang ada di daerah tersebut dan sekitarnya. Terakhir, hal yang tidak kalah penting adalah program link and match harus berkelanjutan, dilaksanakan dan dievaluasi setiap tahun, setidaknya secara berturut-turut dalam jangka waktu 5 tahun (tertuang dalam rencana strategis). Dengan demikian pada tahun kelima, tingkat keberhasilan implementasi link and match dapat diindentifikasi secara pasti menggunakan data awal (t0) dan variable-variabel terukur yang telah disusun. Jangan sampai pada tahun 2020 dan 2021 dilaksanakan, kemudian tahun-tahun berikutnya ditiadakan dan hilang dari program prioritas pemerintah (*).
Catatan: Al Azhar (Widyaiswara BPPMPV KPTK)