Sebuah Renungan: Indonesia, Islam, Politik dan Peradaban
Indonesia dan islam adalah kata yang dapat diartikan sendiri-sendiri atau sebagai kesatuan makna yang bermuara pada satu thesis yaitu kemajemukan.
Indonesia meletakkan kemajemukan sebagai sendi ideologis yakni Pancasila sedang Islam menghargai dan merekonstruksi kemajemukan tidak hanya secara fisis melainkan metafisis. Dalam falsafah “rahmatan lil a’lamin”, kata alam tidak hanya meliputi alam semesta bahkan alam sebelum dan sesudah alam semesta, tidak hanya diperuntukkan manusia melainkan seluruh makhluk ciptaannya.
Kemudian, bagaimana peradaban merangkum keduanya dan menggiring himpunan keduanya menjadi mesin peradaban. Ini menjadi wacana dunia memasuki tatanan peradaban baru (new era) yang ditandai dengan penyatuan secara filosofis idea bermasyarakat global yang terekam dalam satu ideology global “one world”.
Thesis Ke Indonesiaan kita dan dunia
Sejarah mencatat terbentuknya Indonesia atas dasar kesepakatan (concensus) suku-suku yang berlainan adat-istiadat agama dan kebiasaan satu imaging community yakni masyarakat adil dan makmur. Anti thesisnya adalah apabila Ke Indonesiaan kita mengingkari kesepakatan itu akan membawa konsekuensi destruktif terhadap kesepakatan itu.
Kesujanaan founding father dalam merumuskan pedoman hidup bangsa Indonesialah dan kebesaran hati masyarakat dalam memelihara nilai ideologisnya sehingga tercipta suatu ketahanan nasional yang kuat dalam melewati episode perjalanan bangsa ini memasuki tahapan baru Indonesia Chapter II dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Islam Kontekstual dan Peradaban Dunia
Peradaban sebagai satu momentum yang dibangun diagonal dari dua sumbu yang mencari titik temu dalam menciptakan ekuilibrium kehidupan. Analogi itu menyebabkan dalam peradaban tidak pernah tercipta stable equilibrium melainkan unstable. Ibarat sebuah kelereng diatas puncak sebuah busur yang dibalik, sangat rentan untuk tergelincir jika terjadi pengkhianatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Sedang Islam memberikan stable equilibrium, ibarat kelereng tadi berada ditengah dasar busur yang terungkap.
Apa itu Islam dalam konteks peradaban?. Islam adalah pranata sosial yang beradab dan konsisten. Islam berasaskan salam kedamaian diatas kemajemukan manusia dalam semua tingkat peradabannya. Universalitas islam menyebabkan islam bukan hanya milik ”muslim” melainkan semua ummat manusia an sich kemajemukan. Ekuilibrium peradaban dalam islam adalah suatu kondisi ”zero beat” dimana masyarakat islam dan bukan islam bergerak bersama-sama ke satu titik dengan semangat filosofi bahwa Tuhan, mencari persamaan kita dan mempersatukan, sedang Setan mencari perbedaan kita dan mempertentangkan. Ada suatu sistem nilai yang tumbuh yaitu nilai islami karena islam itu sendiri berasal dari kata salam yang berarti selamat.
Politik Islam Indonesia
Perjalanan masuknya islam ke bumi pertiwi, seperti kita ketahui bersama, berafiliasi dengan budaya Indonesia. Konon, pemuka masyarakat kita meyakini sifat dan karakter masyarakat Indonesia mudah menerima hal baru dengan cara santun dan bermartabat. Geostrategi Indonesia berada pada posisi silang antar dua peradaban yang berbeda. Kultur kemajemukan masyarakat yang terdiri dari suku-suku, adat istiadat, serta agama yang berbeda. Bentuk geografis yang archipelagic berikut sumberdaya alam yang melimpah sangat rentan untuk pecah. Santun dan bermartabat inilah menjadikan islam menjadi agama mayoritas di negeri Indonesia.
Perjalanan negara dan bangsa Indonesia tidak terlepas peradaban islam. Peradaban kedamaian. Peradaban islam dibangun tidak hanya fisis tetapi metafisis secara selaras seimbang dan serasi. Ia terbangun dengan sebuah komitmen berupa janji terhadap Tuhan, Manusia dan Alam. Manusia Islam meletakkan manusia dan kemanusiaannya pada posisi yang tinggi karena manusia adalah sama di mata Tuhan.islam adalah rahmatan lil alamin dan amar makruf nahi mungkar. Islam adalah salam.
Dewasa ini, islam diperebutkan sebagai komoditas pesta demokrasi. Perebutan islam ku, islam anda menjadi alat bukan tujuan. Jarang sekali kita mendengar islam kita, dengan tujuan mempersatukan bukan mencari perbedaan bahkan perpecahan. Perbedaan dalam berdemokrasi adalah hal lumrah. Kemenangan bukan satu-satunya cara untuk memperjuangkan nilai-nilai keislaman dalam berbangsa dan bernegara. Belajar dari makna aksi teror di masjid di Kota Christchurch, Selandia Baru baru-baru ini, Islam diserang membabi buta di tempat paling suci bagi umat muslim. Reaksi umat muslim di Selandia Baru dan dunia malah membawa simpati dan empati bagi umat lain di negara tersebut dan dunia. Nilai-nilai keislaman yang sangat diharapkan adalah Islam menjadi agama yang dapat mempersatukan seluruh umat manusia dan menciptakan perdamaian di bumi ini. Tanpa melihat orang dari sisi agama mereka. Tidak menjadikan agama sebagai jurang pemisah antara umat manusia bahkan menjadi salah satu sebab timbulnya konflik.
Pada konteks ini dunia islam sendiri harus melakukan otokritik dengan melakukan hijrah pemikiran dari paradigma lama menuju paradigma baru esensi kemakhlukannya. Sering kita dengar ‘kerasukan setan’ tapi bisa tidak kita mengatakan ‘kerasukan tuhan’ dengan segala sifat baik yang bermakna di dalamnya. Wallahu’alam bissawab.
Opini: M. Sufi Zulkarnaen (Pemerhati Sosial Politik – Staf BPPMPV KPTK Kemendikbudristek)