Pembelajaran di masa pandemi Covid-19: Awalnya full daring, kini hybrid learning

GOWA - Pandemi Covid-19 berdampak ke semua sektor termasuk dunia pendidikan. Sudah setahun lebih, kita dihadapkan pada situasi kecemasan terjangkitnya Covid-19. Sejak diumumkan pertama kali Covid-19 masuk di Indonesia bulan Maret 2020, fasilitas pendidikan (SD, SMP, SMA, SMK, dan perguruan tinggi) ditutup. Interaksi sosial dengan menerapkan protokol kesehatan 3M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan memakai sabun) sudah menjadi kebiasan baru, termasuk pemberlakuan di lingkungan sekolah dan kampus.

Guna meminimalisir penyebaran Covid-19 khususnya di sektor pendidikan, proses belajar mengajar tidak lagi dilakukan melalui tatap muka melainkan secara daring. Para guru yang biasanya mengajar siswa di ruangan kelas, selama masa pandemi mereka lebih sering duduk di depan laptop/komputer yang terkoneksi dengan jaringan internet. Pemberian materi pelajaran dan tugas-tugas sekolah dilakukan secara daring.

Begitu pula untuk meningkatkan kompetensinya, para guru banyak mengikuti pembelajaran dan pelatihan secara daring. Situasi ini memaksa guru harus menambah pemakaian kuota internet. Semakin banyak kebutuhan kuota internet, semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan para guru. Bedasarkan survei terhadap 904 orang guru Indonesia, yang dilakukan Mei 2020 menggunakan google form, diperoleh hasil bahwa terjadi peningkatan pemakaian kuota internet selama masa pandemi Covid-19 dibandingkan sebelumnya.          

Guru yang memberikan jawaban tersebar pada 32 provinsi (tidak termasuk Bengkulu dan Maluku). Mereka adalah guru SD 93 orang, SMP 150 orang, SMA 380 orang, dan SMK 258 orang, serta lembaga pendidikan lainnya 23 orang. Sebelum pandemi Covid-19, mereka (sebesar 70,35%) menghabiskan rata-rata kuota internet dalam sebulan berkisar 1 sampai 10 Gb. Sedangkan selama masa pandemi rata-rata kuota internet yang terpakai sampai 20 Gb perbulan (sebanyak 80,42%), bahkan beberapa guru (8,63%) memakai kuota sampai 50 Gb perbulan.

Para guru mengaku rela membeli lebih banyak kuota internet untuk mengikuti pembelajaran dan pelatihan daring yang diselenggarakan lembaga diklat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Satu contoh guru SMKN PP Cianjur Yola Nurkamil, mengungkapkan untuk mengikuti satu paket pelatihan peningkatan kompetensi selama masa pandemi Covid-19 dapat menghabiskan kuota internet berkisar 21 – 25 Gb. Ia bersyukur pihak sekolah sangat mendukung, baik moril maupun pemberian bantuan kuota internet. “Dengan mengikuti pelatihan secara daring dapat menambah pengetahuan dan keterampilan saya,” kata Yola.

Hal senada diungkapkan Zainul Muttaqin SPd, guru SMK Negeri Pantai Cermin Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat. Ia bisa menghabiskan kuota internet sebanyak 15-20 Gb dalam mengikuti pelatihan daring selama pandemi. Meskipun tidak mendapatkan bantuan kuota internet secara langsung, tetapi Ia cukup terbantu dengan diberikannya kesempatan dan motivasi dari kepala sekolah. “Yang terpenting dengan mengikuti pelatihan secara daring, saya biasa mendapatkan pendalaman materi, yang kemudian bisa diimplementasikan di sekolah,” ujar Zainul.

Contoh lain, Saleh Baidillah guru SMKN 61 Jakarta bisa menghabiskan kuota internet sekitar 50 Gb. Saleh mengaku pihak sekolah memberikan support dan penggantian biaya kuota internet. Berbeda dengan Sitti Baroroh Rochimah (guru SMK 1 Temon DI Yogyakarta), memakai kuota internet sekitar 50 Gb dengan biaya sendiri. Mereka merasa senang dapat mengikuti pelatihan secara online, karena sangat fleksibel.   

Pantauan yang dilakukan Mei 2021, sebagian besar sekolah di tanah air masih melaksanakan pembelajaran secara daring, namun beberapa sekolah sudah mulai menerapkan pembelajaran tatap muka (PTM). Berdasarkan penuturan Guru SMKN 11 Semarang Djuwariyah, sejak akhir April 2021 pihaknya telah memberlakukan proses belajar tatap muka. Metode yang dipakai adalah sistem hybrid learning, dimana jumlah siswa yang masuk sekolah (belajar tatap muka) hanya 50% dari total jumlah siswa. Sedangkan 50% lainnya mengikuti pembelajaran online dari rumah.

“PTM dikhususkan pada siswa kelas X dan XI, dengan pelaksanaan setiap guru mata pelajaran dijadwalkan 1 kali seminggu tatap muka pada setiap tingkat. Sedangkan kelas XII sudah selesai pembelajaran, tinggal menunggu pengumuman kelulusan. PTM di kelas tetap menggunakan google meet, jadi siswa yang di rumah bisa juga ikut pembelajaran. Siswa yang ikut PTM di sekolah adalah mereka yang mendapat izin dari orang tuanya,” paparnya.  

Pengakuan serupa datang dari orang tua siswa SMP IT Al Biruni Mandiri Kota Makassar Yopi Sopian. Di sekolah anaknya telah melaksanakan PTM 2 kali seminggu. Siswa yang mengikuti PTM di sekolah, sebanyak 50% dari jumlah siswa perkelasnya. “Sebagian ikut tatap muka, sisanya mengikuti proses belajar secara daring. Ini sudah berjalan sekitar 2 minggu. Rencananya mulai tahun ajaran baru 2021/2022, proses belajar mengajar sudah full tatap muka dengan pengaturan protokol kesehatan yang ketat. Semua gurunya pun sudah vaksin,” ucap Yopi ketika ditemui di kantor Balai Pengembangan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi Bidang Kelautan Perikanan Teknologi Informasi dan Komunikasi (BPPMPV KPTK) tanggal 3 Mei 2020.   

Untuk diketahui, pembelajaran online memiliki kelebihan. Guru memiliki waktu dan tempat yang lebih efektif, langsung mengikuti proses pembelajaran dari rumah, lebih mandiri dengan menambah pengetahuan melalui referensi di internet, dan dilatih untuk lebih menguasai teknologi informasi yang terus berkembang. Sementara itu, kelemahan pembelajaran online adalah lebih bersifat teoritis dan minim praktek. Bagi guru yang tinggal di lokasi minim infrastruktur komunikasi, tentunya akan kesulitan untuk mengakses internet. Tidak semua guru memiliki kemampuan yang baik dalam mengoperasikan komputer atau laptop, dan terlalu banyak gangguan yang dapat mengganggu konsentrasi guru saat pelatihan. Yang terakhir, pembelajaran online berdampak pada peningkatan biaya yang dikeluarkan oleh guru untuk mengakses internet dengan lebih baik.

Catatan: Al Azhar (BPPMPV KPTK)

 

Galeri Foto