Kurikulum Tanggap Bencana; Melatih Kesiapsiagaan Bencana Mulai Dari Dini
Kontributor: Destilawaty (Widyaiswara BPPMPV KPTK)
Tanggal 26 April lalu ditetapkan sebagai Hari Kesiapsiagaan Bencana oleh Pemerintah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Tanggal tersebut dipilih didasarkan terbitnya UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang jatuh pada tanggal 26 April 2007. Undang-undang ini dinilai sangat penting karena telah melahirkan berbagai legislasi, kebijakan, serta program pemerintah yang mendukung kegiatan mitigasi dan kesiapsiagaan bencana. Sekaligus sebagai titik awal perubahan paradigma dan cara pandang menyikapi bencana, yang semula responsive menuju paradigma pengurangan resiko bencana (Arum Sutrisni Putri, 2020). Lalu apakah kebijakan dan program mitigasi dan kesiapsiagaan bencana dalam UU no. 24 tahun 2007 telah dilaksanakan dengan menyeluruh dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat?.
Diawal tahun 2021 lagi-lagi bangsa Indonesia di hadapkan oleh bencana yang bertubi-tubi di tengah pandemi covid-19, diantaranya gempa bumi di Sulbar, banjir di Kalimantan Selatan, tanah longsor di Sumedang, yang semua menelan korban tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak, dan harta benda yang tidak sedikit. Ditambah beberapa gunung berapi yang bergeliat untuk erupsi, diantaranya gunung Semeru di Jawa Timur, Gunung Merapi di Jawa Tengah, Gunung Sinabung dai Tanah Karo, dan baru-baru ini Gunung Dieng di Jawa Tengah mengeluarkan erupsinya. Pada tahun 2019 kita juga menghadapi bencana bertubi-tubi diantaranya gempa bumi di Palu dan Lombok, tsunami di Pandeglang, dan longsor di Sukabumi. Peristiwa tersebut sejatinya menjadi pelajaran bagi bangsa ini agar bencana tidak menelan banyak korban jiwa lagi.
Wilayah Ring Of Fire
Sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah rawan bencana alam, karena Indonesia berada di jalur gempa teraktif di dunia yang dikelilingi oleh Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) dan berada di atas tiga tumbukan lempeng benua, yakni, Indo-Australia dari sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur. Kondisi geografis ini di satu sisi menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang rawan bencana letusan gunung api, gempa bumi dan tsunami namun di sisi lain menjadikan Indonesia sebagai wilayah subur dan kaya secara hayati (Wikipedia.org). Menurut BMKG, setidaknya ada 18 Provinsi di Indonesia yang telah ditetapkan sebagai daerah rawan gempa dan tsunami dan telah dilengkapi dengan sirene peringatan dini, diantaranya Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Lampung, Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Papua, Papua Barat, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Bali, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Banten, dan Jawa Barat (Seto Ajinugroho, 2018).
Berdasarkan tersebut terlihat bahwa di wilayah Provinsi Sulawesi Barat belum terpasang sirene peringatan dini oleh BMKG, agak berbeda pada saat gempa Palu terjadi, masyarakat Indonesia menerima pesan secara tiba-tiba di semua stasiun televisi pada saat gempa dan sebelum tsunami terjadi. Gempa di Sulbar terjadi pada tanggal 15 Januari 2021, pukul 02.28 WITA, gempa berskala 6,2 SR nyaris membuat kab Mamuju dan Majene lumpuh, walaupun tidak berdampak mengakibatkan tsunami, namun korban jiwa mencapai lebih dari 100 orang, dan 19.000 orang lebih mengungsi, dan total kerugian mencapai Rp. 829,1 M data tersebut meliputi kerusakan pemukiman, fasilitas perkantoran, sekolah, Kesehatan, dan Militer (Fitri Sartiana Dewi, 2021). Tim relawan bencana BPPMPV KPTK sempat melakukan kunjungan di Kabupaten Mamuju dan Majene dalam rangka penyaluran bantuan, dan juga pendataan sekolah yang terdampak gempa Bersama Dinas Pendidikan Provinsi, beberapa sekolah SMK diidentifikasi mengalami kerusakan berat. Berikut data kerusakan yang berhasil diidentifikasi oleh tim BPPMPV KPTK, dan ini merupakan data SMK belum termasuk data sekolah SD/SMP/SMA yang ada di Sulbar.
Tabel 1. Data SMK dan LKP Yang Terdampak Gempa Sulbar
No. |
Nama Sekolah |
Kabupaten |
Keadaan Sekolah |
1 |
SMK NEGERI 1 RANGAS |
Mamuju |
Keadaan bangunan sekolah rusak berat hingga 95%, hampir seluruh bangunan retak dan beberapa yang runtuh dan sudah tidak layak dan aman digunakan kembali |
2 |
SMK NEGERI 1 MAMUJU |
Mamuju |
Sebagian besar bangunan sekolah rusak berat dan ringan, ada longsoran di beberapa titik dan menimpa ruang kelas. Sekolah juga sementara ditempati beberapa pengungsi |
3 |
SMK NEGERI 1 TAPALANG |
Mamuju |
Beberapa bangunan ruang kelas juga mengalami kerusakan pada titik kuda-kuda bangunan, jalanan utama masuk sekolah amblas dan runtuh |
4 |
SMK NEGERI 1 TAPALANG BARAT |
Mamuju |
Beberapa bangunan retak dan sebagian adalah bangunan lama, atap plafon beberapa kelas roboh |
5 |
SMK NEGERI 6 MAJENE |
Majene |
Bangunan sekolah rusak penuh dan tidak bisa digunakan lagi, hampir semua bangunan roboh dan kerusakan 100 persen |
6 |
SMKS BUNGA BANGSA SEJAHTERA |
Majene |
Kondisi semua bangunan rusak berat dan sudah tidak layak pakai |
7 |
SMK NEGERI 4 MAJENE |
Majene |
Beberapa ruang kelas dan ruang praktek retak, plafon terbuka dan tidak bisa digunakan, |
8 |
SMK NEGERI 9 MAJENE |
Majene |
Sekolah berada disekitar titik gempa dan lokasi terisolir, tidak dapat dijangkau dengan kendaraan darat. Beberapa bangunan mengalami keretakan, pagar sekolah rubuh. |
9 |
SMK NEGERI 7 MAJENE |
Majene |
Beberapa bangunan terjadi keretakan, sekolah digunakan juga sebagai lokasi pengungsian |
10 |
SMKS KOTA TINGGI |
Majene |
Beberapa bangunan terjadi keretakan, sekolah digunakan juga sebagai lokasi pengungsian Posko Induk untuk daerah Malunda, Majene |
11 |
SMKS MARITIM AL-QADRI |
Majene |
Beberapa bangunan terjadi keretakan ringan , sekolah digunakan juga sebagai lokasi pengungsian |
12 |
SMK NEGERI 1 TABULAHAN |
Mamasa |
Beberapa bangunan terjadi keretakan ringan dan berat, sekolah digunakan juga sebagai lokasi pengungsian, lokasi sekolah sekitar 150 KM dari kota Mamuju dan medan sulit. |
13 |
LKP YP CIPTA MANDIRI |
Mamuju |
Bangunan rusak berat |
14 |
LKP AL KAHFI |
Mamuju |
Bangunan rusak berat |
15 |
LKP EDUKASI |
Mamuju |
Bangunan rusak berat |
Sumber: data primer BPPMPV KPTK, 2021
Belajar dari Jepang
Jepang merupakan salah satu negara yang berada di wilayah ring off fire, oleh karena itu negeri Sakura tersebut juga termasuk negara rawan bencana gempa bumi dan tsunami. Terakhir kali Jepang dilanda gempa dan tsunami pada 2011 silam. Gempa berkekuatan 9,0 magnitudo itu menimbulkan tsunami yang menghancurkan kawasan pesisir timur laut negara itu. Sekitar 19.000 orang tewas atau hilang akibat peristiwa tersebut, serta menyebabkan kebocoran pembangkit tenaga nuklir Fukushima Daiichi (Veronica Yasinta, 2018).
Dampak dari kebocoran pembangkit tenaga nuklir tersebut masih menjadi persoalan sampai hari, dimana ada keinginan pemerintah Jepang yang akan membuang limbah kebocoran tenaga nuklir tersebut ke Perairan Laut Cina Selatan, sontak hal tersebut membuat negara-negara tetangga memberikan reaksi diantara China, Korea, dan juga Indonesia yang menolak pembuangan limbah pembangkit tenaga nuklir tersebut ke perairan laut, walaupun disampaikan jika Jepang telah melakukan pengolahan terhadap limbah tersebut, namun tetap saja limbah B3 akan memberikan dampak buruk jika dibuang ke perairan laut.
Apa yang dilakukan Jepang untuk meminimalisir resiko bencana, beberapa cara dilakukan oleh Jepang untuk memitigasi bencana gempa dan tsunami, diantaranya (Veronica Yasinta, 2018):
- Rumah/ Banguan Tahan Gempa
Untuk memastikan keselamatan penduduk, rumah-rumah penduduk dibangun harus dirancang agar tahan gempa. Dengan begitu, gempa bumi yang kuat tidak mudah menyebabkan rumah roboh. Bangunan yang runtuh merupakan salah satu penyebab cedera dan kematian akibat gempa. Di Jepang, semua bangunan harus mengikuti dua persyaratan ketat dari pemerintah, yaitu bangunan dijamin tidak akan runtuh karena gempa dalam 100 tahun ke depan, dan bangunan dipastikan tidak akan rusak dalam 10 tahun pembangunan.
Harapan yang sama dapat diaplikasikan di Indonesia, terutama di Provinsi yang merupakah daerah paling rawan gempa dan tsunami, jika melihat data akibat gempa di Provinsi Sulbar diatas, maka seharusnya pemerintah Provinsi Sulbar, sudah harus mempertimbangkan untuk melakukan pembangunan dengan menggunakan standar tahan gempa, terutama untuk bagunan fasilitas umum, seperti perkantoran, sekolah, rumah sakit, pertahanan, dan lain-lain.
- Peringatan gempa di ponsel
Setiap ponsel pintar di Jepang dipasang dengan sistem peringatan gempa dan tsunami. Peringatan akan sampai ke pemilik ponsel pintar sekitar 5-10 detik sebelum bencana terjadi. Dengan demikian, penduduk masih memiliki waktu untuk segera mencari perlindungan, seperti misalnya, dengan berlindung di bawah meja. Sistem ini mengeluarkan suara otomatis "Jinshin desu! Jihshin desu!" yang berarti ada gempa bumi.
- Siaran TV
Ketika gempa muncul, seluruh stasiun televisi Jepang langsung beralih pada siaran gempa. Penduduk dipastikan mendapat informasi cukup untuk tetap aman. Cakupan informasi itu seperti bagaimana mencari perlindungan, apakah ada tsunami, dan masyarakat masih punya waktu untuk pindah ke lokasi yang lebih tinggi.
- Ransel Darurat
Untuk meminimalkan korban, Pemerintah Jepang memberikan panduan tentang cara bertahan terhadap bencana alam. Ransel darurat yang berisi senter, obat-obatan, selimut, masker, tali, radio, portable toilet dan sejumlah makanan disediakan di setiap rumah tangga. Peralatan darurat itu cukup untuk bertahan hidup selama tiga hingga tujuh hari. Setiap pusat evakuasi seperti ruang olahraga di sekolah dilengkapi dengan helm, selimut, senter, makanan, dan sebagainya untuk melayani kebutuhan masyarakat yang mengungsi.
- Peran Ibu Rumah Tangga
Ibu rumah tangga di Jepang memainkan peran penting terhadap penanganan bencana. Gempa biasanya berdampak pada pipa gas yang bisa menyebabkan ledakan dan kebakaran. Mereka dilatih untuk mematikan gas dan listrik, serta cara membuka pintu yang sulit dibuka akibat gempa. Para ibu juga memiliki tugas penting lainnya, yaitu memeriksa ransel darurat secara reguler dan mengganti barang-barang yang sudah kedaluwarsa dan rusak.
- Pelatihan Di Sekolah
Dan yang tak kalah penting adalah mengajarkan murid-murid di sekolah untuk tanggap ketika menghadapi gempa. Sejak dari usia dini, anak-anak dilatih mencari tempat perlindungan dan bagaimana bisa aman jika gempa melanda wilayah mereka. Metode yang paling umum diajarkan yaitu berlindung di bawah meja dan menahannya dengan kaki sampai gempa berhenti. Jika sedang bermain di luar, anak-anak diminta untuk berlari ke ruangan terbuka untuk menghindari bangunan yang roboh.
Kurikulum Tanggap Bencana
Seperti halnya yang telah dilakukan di Jepang, bahwa penting mengajarkan kepada murid-murid disekolah untuk tanggap menghadapi gempa sejak dini, hal ini dikarenak pembiasaan yang dilakukan sejak dini akan terus dibawa hingga dewasa, dan pada akhir akan memberikan dampak secara meluruh kepada seluruh masyarakat Indonesia kedepan.
Konsep kurikulum tanggap bencana dapat dilakukan oleh berbagai cara, diantaranya dapat merupakan bagian dari mata pelajaran tematik di Sekolah, atau dapat dimasukkan dalam kegiatan ekstrakulikuler di sekolah. Materi apa yang perlu ada dalam kurikulum tanggap bencana, setidaknya siswa diajar dua hal utama yakni pertama, belajar siap siaga menghadapi bencana, yakni siswa memiliki keterampilan untuk mengenali bencana, baik gempa, tsunami, erupsi gunung berapi, banjir, melalui system peringatan dini di masing-masing daerah rawan bencana. Kemudian siswa dibelaki keterampilan SAR yakni bagaimana melindungi diri dan menyelematkan diri ke tempat yang aman, mengenal jalur evakuasi, dan pengungsian, siswa juga dilatih kesiapan mental untuk tidak panik, dan empati untuk saling membantu satu sama lainnya.
Kedua, siswa juga diharapkan dapat belajar mengkritisi apa penyebab dari bencana yang terjadi. bencana banjir dan longsor yang terjadi tidak hanya semata-mata karena faktor alam seperti perubahan musim dan curah hujan yang tinggi. Tetapi juga faktor tata ruang yang sembarangan, urbanisasi yang tidak terkendali, lahan permukiman dan industri yang merambah tanah resapan, hingga perilaku membuang sampah sembarangan. Tak kalah berbahaya adalah alih fungsi lahan hutan dan kurangnya kesadaran dalam membuat sumur resapan. Semua itu merupakan benih penabur untuk menuai bencana. Oleh karena itu pengetahuan yang menyeluruh dari dua faktor penting untuk disampaikan kepada siswa melalui kurikulum tanggap bencana tersebut.
Daftar Pustaka
- Putri, A.S. 2020. https://www.kompas.com/skola/read/2020/04/26/120000069/26-april-hari-kesiapsiagaan-bencana?page=all
- Dewi, S.F. 2021, https://sulawesi.bisnis.com/read/20210127/539/1348322/total-kerugian-akibat-gempa-di-sulbar-mencapai-rp8291-miliar.
- Yasinta, V. 2018. https://internasional.kompas.com/read/2018/10/02/14212651/rawan-bencana-ini-8-cara-jepang-mitigasi-gempa-dan-tsunami?page=all
- Nugroho, A. 2018. https://www.grid.id/read/04955868/termasuk-dalam-ring-of-fire-18-provinsi-indonesia-ini-rawan-gempa-dan-tsunami?page=all